Kamis, 08 April 2010

Robohnya Surau Kami

Robohnya Surau Kami
A. A. Navis

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bus, Tuan
Akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya kea rah barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia bertugas sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi, sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi, yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.
Tapi, kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai surau di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai suatu gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tak dijaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongeng yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari, aku datang mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku karena aku suka memberinya uang. Tapi, sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lutunya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu bermuram durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian, aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau cukur itu. Dan aku Tanya Kakek:”Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat ajo sidi,si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa memikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi, ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena pelaku-pelaku yang diceritakan nya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang mencocoki watak dari pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaiman sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin yang berkelakuan seperti katak itu maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak.
Tiba-tiba, aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itulah yang mendurjanakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku Tanya Kakek lagi:”Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini,yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah bwgitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku Tanya lagi Kakek:”Bagaimana katanya, Kek?”
Tapi, Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang bertanya, lalu ia yang bertanya kepadaku:”Kau kenal padaku bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutuklah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”
Tapi, aku tak perlumenjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia tak akandiam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala hidupku, lahir batin, Kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor aku enggan membunuhnya. Tapi, kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka.
Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku
Mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku karena aku yakin Tuhan itu pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu, siang, malam, pagi, sore. Aku sebut-sebut nama-Nya selalu. Aku puji-puji dia. Aku baca kitab-Nya. ‘Allhamdulillah’ kataku bila aku menerima karunia-nya. ‘Astagfirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masa Allah’ kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaannku itu? Tapi, kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku: “Ia katakana Kakek begitu, Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi, Begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi, aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga.
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai,” di akhirat, Tuhan allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkannnya di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika melihat orang yang masuk surge ia melambaikan tangaannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketmu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang mengantre begitu panjangnya. Susut di muka bertambah di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya, sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi, karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak Tanya nama. Nama bagiku tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘Apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam, bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain?’
‘Segala tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia
Seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laksat itu.
‘Lain?’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain dari beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut
Nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan
Juga selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi, ia insaf bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi, yang belum dikatakannya. Tapi, menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu apa lagi yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, dihisap kering oleh hawa panas api neraka itu.
‘Lain lagi?’ Tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang,
Adil dan Mahatahu.’ Haji Soleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan
Memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan
Salah Tanya kepadanya. Tapi Tuhan Tanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca kitab-Mu.
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya,o, Tuhanku. Tapi, kalau ada yang aku lupa mengatakannya,
Akupun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kau kerjakan di dunia selain yang kau ceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak megerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tidak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengangnya Haji Saleh karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan, ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar Syekh pula. Lalu, Haji
Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi, sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian,’ Bukankah kita disuruhnya taat beribadat teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat.’ Kata salah seorang di antaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana? Suatu suara melengking di dalam
Kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ Tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
Gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung pada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
Berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu, dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara
Menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu, mereka berangkatlah bersama-sama menghadap tuhan.
‘Dan Tuhan bertanya,’Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggelegar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhankuyang Mahakuasa, setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kamike neraka. Maka sebelum terjadi hal-halyang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kau jatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surge sebagaimana yang engkau janjikan dalam kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal dimana?’ Tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
Lainnya, bukan?’
‘Benar.Benar. Benar, Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
Sekarang bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri, di manatanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh subur tanpa ditanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.
‘Di negeri , di mana penduduknya snediri melarat itu?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak orang lain itu?’
‘Ya. Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Danhasil tanahmu, mereka yang mengeruknya dan diangkutnya ke negerinya, bukan?’
‘Benar Tuhanku, hingga kami tidak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu,hingga kamu dengankamu selalu berkelahi, sedang hasil
Tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi, bagi kami soal harta bendaitu, kami tak mau tahu. Yang penting
Bagi kami menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat bukan?’
‘Benar, kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena kerelaanmu itu anak cucumu tetap melarat, bukan?’
‘Sungguh pun anak cucu kami melarat, tapi merak semua pintar mengaji. Kitab-Mu
Mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’
‘ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua? Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau Negara yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaiman engkau bisa beramal kalau engkau miskin? Engkau kira aku ini suka pujian,mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.
Semuanya menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridhai Allah di dunia. Tapi, Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi, ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja kepada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembahTuhan di dunia?’ Tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau yerlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi, engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri sehingga mereka itu kocar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egois. Padahal, engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’”
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang ku dengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
‘Siapa yang meninggal?’ tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali.
Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-
cengang. Aku cari Ajo Sidi Ke rumahnya. Tapi, aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu, aku Tanya
Dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan dia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,”tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikit pun tanggung jawab,” dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya. Dia pergi kerja.”

Bukittinggi, Maret 1955


Tugas
Tentukan:
1. Tema cerpen di atas
2. Amanat yang terkandung dalam cerpen di atas
3. Latar cerpen Robohnya Surau Kami
4. Tokoh dan perwatakannya
5. Alur (sertakan kalimat kejadian/peristiwa dalam cerpen sebagai bukti tahap alur)
Kerjakan dikertas dan kumpulkan pada saat masuk sekolah

Selamat melaksanakan tugas

Sumber:
1. Trianto, Agus. “Pasti Bisa” BAHASA INDONESIA SMP
2. Depdiknas, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, DIREKTORAT PENDIDIKAN
LANJUTAN PERTAMA
3. Anwar effendi.1997. Pengajaran Apresiasi Sastra. Universitas Terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar